POLONIA4D

Bandar POLONIA4D Agen POLONIA4D POLONIA4D Situs POLONIA4D POLONIA4D SLOT Bonus POLONIA4D Login Polonia4d Daftar Polonia4d

PENGALAMAN LESBIAN PERTAMAKALI DAN ORGASME BERKALI-KALI DI TEMPAT SPA

PENGALAMAN LESBIAN PERTAMAKALI DAN ORGASME BERKALI-KALI DI TEMPAT SPA



 


Siang yang cukup terik saat aku pulang dari sekolah tempatku mengajar. Jarak antara sekolah dan rumahku memang tidak begitu jauh, tapi teriknya siang ini membuatku mengendarai motor matic ini cukup tersiksa. Untung saja jalanan tidak begitu macet sehingga aku bisa dengan cepat sampai rumah.

Di rumah aku disambut oleh anak lelakiku yang digendong baby sitter. Anak semata wayangku yang bernama Hansen ini baru berumur setahun, hasil pernikahanku dengan mas Andri 2 tahun yang lalu. Namaku Jasmin Mutiara, saat ini berumur 26 tahun, terpaut 3 tahun dengan mas Andri. Sedangkan baby sitter yang menjaga anakku ini adalah Yuna, kenalanku dari kampung yang bersedia ikut denganku. Sebagai lulusan SD dia sudah cukup berterima kasih ku beri pekerjaan di rumah ini. Selain menjaga Hansen Yuna juga sekaligus merangkap pembantu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Begitu melihat Hansen seolah rasa lelahku langsung hilang. Senyumnya menjadi seperti vitamin yang selalu manjur untuk mengembalikan semangatku. Ku gendong Hansen kemudian kubawa masuk ke kamar, sedangkan Yuna melanjutkan pekerjaannya. Aku bisa betah seharian bermain-main dengan anakku yang sedang lucu-lucunya itu.

Kalau sudah pulang dari mengajar seperti ini, ya hanya ini kegiatanku, bermain-main dengan Hansen sambil menunggu mas Andri pulang. Suamiku bekerja di sebuah bank bumn di kota ini, dan biasanya dia pulang agak petang. Untung di rumah ada Hansen dan Yuna sehingga aku tidak terlalu kesepian.

Saat sedang asyik-asyik bermain-main dengan Hansen ku dengar ada suara motor yang masuk ke halaman rumahku. Saat kutengok dari dalam rumah ternyata itu adalah Susan, kawanku sejak kuliah yang kebetulan mendapat pekerjaan juga di kota ini. Aku dan Susan sama-sama perantau, tapi kalau kampungku tak begitu jauh dari kota ini, Susan berasal dari pulau seberang.

Susan seumuran denganku, tapi dia belum menikah. Penampilan kami berdua juga sama-sama berjilbab kalau sedang keluar rumah, dan juga memakai pakaian yang tidak terlalu ketat, tapi tetap modis, khas hijaber masa kini. Secara postur tubuh, meskipun tinggi kami hampir sama tapi Susan lebih langsing daripada aku. Wajar karena aku sudah pernah melahirkan. Tapi meski begitu aku juga tidak bisa dikatakan gemuk. Aku bersyukur karena setelah menikah tubuhku tidak terlalu melar, bisa kembali meskipun tidak selangsing dulu, tapi itu sudah cukup membuat suamiku senang. Katanya dia lebih suka melihatku yang seperti ini, lebih montok, hehehe.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, masuk San.”

“Hai Min, apa kabar?” dia masuk dan kami langsung cipika cipiki.

“Alhamdulillah baik, kabar kamu gimana?” tanyaku balik.

“Alhamdulillah baik juga. Hai ganteeng, sini dong digendong sama tante.”

Aku pun langsung memberikan Hansen untuk digendong oleh Susan. Susan memang sudah sering main kesini dan menggendong Hansen, karena itulah anakku tidak rewel, bahkan terlihat senang kalau Susan datang. Kulihat dia senang sekali bermain-main dengan Hansen, makanya sering kusindir agak cepat-cepat menikah.

“Duh, kayaknya kamu udah pengen banget punya anak San? Sana buruan nikah, umur juga udah pas kan?”

“Hehehe iya Min, ya doain aja moga-moga cepet dilamar sama mas Anton.”

“Ya kalau nggak cepet-cepet dilamar ancem aja, mau cari yang lain, entar pasti langsung deh mas Anton nemuin orang tuamu, hahaha.”

“Hahaha iya juga ya.”

Kami masih ngobrol santai sampai akhirnya aku dipanggil Yuna dan memberi tahu kalau makan siang sudah siap. Kuajak Susan sekalian makan siang. Dia minta tetap menggendong Hansen, kuiyakan saja karena kulihat Hansen anteng-anteng saja. Selesai makan siang kami duduk-duduk di ruang keluarga sambil ngobrol santai lagi.

“Eh Min, tahu nggak, ada tempat pijat baru lho di daerah Seturan,” ucap Susan.

“Oh ya? Dimana?” tanyaku.

“Di deket OK-Mart, ada gang kan di sebelahnya, masuk kira-kira 100 meter, namanya Family Spa.”

“Ooh, enak nggak tempatnya?”

“Enak kok, karena masih baru mungkin ya, coba aja kesana.”

“Hmm, iya deh entar kapan-kapan. Lagian aku nggak terlalu hobi pijat. Apalagi di tempat kayak gitu, rasanya kurang nyaman aja.”

“Eh yang ini beda. Kan tempat buat cowok sama cewek dipisah, terus roomnya juga nggak kayak di tempat lain yang cuma dibatesin triplek. Ini kayak kamar gitu, lumayan kedap suara juga, jadi nggak bakal denger suara dari luar. Udah gitu fasilitasnya lengkap, kalau yang VIP ada bathtub sama TV-nya.”

“Oh ya? Wah mahal dong berarti?”

“Ya lumayan, tapi sekarang masih promo kok, jadi harganya sama kayak di tempat lain. Kemarin pas kesana aku tanya kan promonya sampai kapan, kata kasirnya masih 2 minggu lagi. Kesana aja lumayan kan?”

“Hmm, iya deh nanti.”

Setelah itu obrolan kami berganti topik lagi. Sampai akhirnya tak terasa hari sudah sore dan Susan pamit pulang. Aku memikirkan lagi soal panti pijat yang tadi diceritakan oleh Susan. Aku memang tidak terlalu sering dipijat, karena aku orangnya gampang gelian, jadi suka risih aja kalau dipijat, meskipun yang mijat itu mbok-mbok kayak biasanya aku pijat selama ini. Tapi kupikir-pikir, mumpung masih promo mungkin boleh juga dicoba, apalagi Susan yang ngerekomendasiin. Yang aku tahu Susan memang sering pijat di spa-spa seperti itu, sebulan bisa 2 sampai 3 kali.

Pada suatu hari, aku pulang lebih awal dari biasanya karena hari ini memang diadakan rapat guru. Rapat itu ternyata cuma berlangsung sebentar dan kami langsung pulang. Dalam perjalanan aku kembali teringat panti pijat yang pernah diceritakan Susan. Kuingat-ingat lagi sepertinya saat ini masih promo, ah kucoba saja kesana, mumpung badanku juga sedang capek-capek. Tapi aku memutuskan untuk pulang dulu ganti baju, tidak mungkin aku kesana dengan memakai seragam guruku ini.

Sesampainya di rumah aku segera mengganti baju. Kukenakan kemeja lengan panjang kotak-kotak dan celana panjang jeans, kemudian dengan jilbab berwarna hitam. Kepada Yuna aku mengatakan akan ke rumah temanku dulu karena ada sedikit urusan. Aku pun berangkat berbekal petunjuk yang diberikan oleh Susan tempo hari. Tidak sulit mencari tempat itu, dan akhirnya aku sampai juga.

Kulihat dari luar bangunannya cukup bagus, didominasi warna hijau dengan desain yang futuristik. Sayang tempatnya agak masuk ke dalam, kalau pas di pinggir jalan depan sana mungkin akan semakin ramai. Kulihat parkirannya cukup luas, dan baru beberapa kendaraan saja baik mobil ataupun motor yang terparkir. Yah, memang masih jam segini, orang-orang pun pasti masih sibuk bekerja.

“Selamat siang ibu, selamat datang,” aku langsung disambut petugas saat baru masuk.

“Selamat siang mbak,” jawabku.

“Baru pertama kali kesini bu?” tanya petugas itu dengan ramah.

“Iya mbak, betul.”

“Oh kalau begitu silahkan dipilih, mau paket yang mana, semua harga yang tertera disitu nanti dipotong 50% bu karena kami masih promo,” dia menyodorkan sebuah buku yang mirip daftar menu.

Kulihat tarif untuk tiap-tiap perawatan memang lebih tinggi daripada tempat lain, tapi karena masih promo dan diskon sampai 50%, jatuhnya malah lebih murah.

“Saya pilih ini aja mbak, shiatsu yang 2 jam.”

“Oh baik ibu. Silahkan pilih untuk terapisnya. Untuk yang ada klip merahnya sedang tidak available ya bu,” kembali mbak itu memberikan sebuah buku yang isinya foto-foto terapis yang ada disitu. Hmm, cukup banyak juga, dan semuanya cewek. Hanya ada foto, tidak ada namanya.

“Yang ini aja mbak,” aku menunjuk sebuah foto terapis. Aku memilihnya karena dari foto posturnya cukup kecil, jadi kurasa tenaganya nanti pas untuk memijitku yang tidak terlalu suka dipijat keras-keras.

“Oh iya baik. Ibu mau room yang VIP atau yang biasa?”

“Yang VIP ya mbak.”

“Baik bu, mari saya antarkan.”

Mbak yang aku tidak tahu namanya itu kemudian mengajakku menaiki tangga. Sampai di lantai 2 ku lihat ada dua buat pintu, dimana ada tanda cewek dan cowok. Hmm, benar kata Susan, ruangannya dipisah, kurasa ini benar-benar aman. Disitu juga ku lihat ada seorang pria yang memakai seragam security sedang duduk di dekat pintu-pintu itu.

Wah, sampai ada securitynya, mungkin buat jaga-jaga kalau ada pelanggan yang nakal sama terapis biar bisa langsung ditindak kali ya. Aku merasa semakin tenang karena ku pikir dengan adanya petugas keamanan itu berarti panti pijat ini memang benar-benar menjaga keamanan dan kesopanan. Kalau ada pelanggan yang punya niat tidak-tidak pasti berpikir ulang setelah melihat pria itu, yang berperawakan tinggi besar dan wajahnya agak, hmm, menyeramkan, hihihi.

“Ini ruangannya bu, silahkan ibu ganti baju dengan pakaian yang sudah kami sediakan sambil menunggu terapisnya, kurang lebih 5 menit lagi terapisnya datang.”

“Oh iya mbak, makasih.”

Aku segera masuk ke ruangan itu. Berbentuk seperti kamar, berukuran sekitar 3 x 4 meter. Ada sebuah bathtub dan TV, seperti yang diceritakan Susan. Tempat untuk pijitnya juga bukan ranjang kecil seperti biasanya di tempat lain, tapi sebuah matras yang cukup tebal dan lebar, dengan lubang untuk wajah. Di atasnya ada besi-besi yang biasa digunakan terapis untuk pegangan waktu melakukan shiatsu.

Akupun segera berganti pakaian. Awalnya aku agak ragu waktu melihatnya, hanya sebuah celana dalam tipis berwarna putih, dan sebuah tanktop yang juga cukup tipis berwarna putih. Tapi setelah kupikir-pikir, toh yang mijat cewek juga, jadi nggak papa lah. Kulepas semua pakaianku, termasuk pakaian dalamku dan menggantinya dengan pakaian itu. Sejenak aku bercermin, wah seksi juga ya aku berpakaian kayak gini, gimana kalau mas Andri lihat ya? Hihihi.

Tok tok tok…

“Permisi,” kudengar suara ketukan pintu dikuti suara seorang wanita.

“Iya,” jawabku.

“Sudah selesai bu ganti bajunya.”

“Sudah mbak,” jawabku sambil membuka pintu yang memang tadi ku kunci.

“Selamat siang bu,” sapa wanita itu, terapis yang kupilih tadi.

“Siang mbak.”

“Saya Wati bu, maaf dengan ibu siapa?” tanyanya.

“Saya Jasmin.”

“Baik bu, kita bisa mulai terapinya. Shiatsu 2 jam ya bu?”

“Iya mbak.”

“Oh iya sebelumnya ini ada wedhang jahe, mungkin kalau ibu berkenan silahkan diminum biar agak hangat badannya.”

“Wah makasih mbak.”

Aku menerima cangkir dari mbak Wati yang berisi wedhang jahe itu, dan meminumnya sedikit. Kemudian dia menyuruhku untuk tengkurap. Setelah aku tengkuran dia menutupi tubuhku dengan handuk lebar yang menutup punggung sampai ke lutut.

“Maaf bu, pijitanya mau yang sedang atau yang kuat?”

“Yang sedang aja ya mbak.”

“Baik bu.”

Dia pun memulai pijatannya dari telapak kakiku. Hmm, kalau yang aku dengar, pijatan yang benar itu memang mulainya dari telapak kaki, jadi kalau yang mulai dari tempat lain, yaa kalian bisa menduganya sendiri lah, hehehe. Sambil menikmati pijatan dari mbak Wati, kunyalakan TV yang ada di ruangan ini. Memang aku tak bisa melihat dengan leluasa, tapi lumayanlah masih bisa dengar.

“Bu Jasmin baru pertama kali kesini?”

“Iya mbak, kemarin itu dikasih tahu sama teman, katanya ada tempat pijat baru.”

“Oh iya bu, kita emang baru buka kok, belum ada sebulan, makanya masih sepi ini.”

“Oh gitu. Padahal disini bagus ya mbak, sayang tempatnya agak masuk. Kalau di pinggir jalan besar pasti udah lebih rame.”

“Iya bu, tapi disini malah enak kok, nggak bising. Kalau di room VIP seperti ini sih enak karena kedap suara, tapi kalau yang standar kita masih bisa denger suara-suara dari luar kan bu, jadi kurang nyaman aja.”

“Iya juga sih mbak.”

Sambil terus memijat mbak Wati mengajakku ngobrol. Pijatannya enak juga ternyata, apalagi orangnya juga ramah, aku jadi merasa lebih nyaman sekarang.

“Ibu asli Jogja?”

“Bukan mbak, saya dari Solo, disini kebetulan kerja, dan ikut suami juga.”

“Oh gitu. Kerja dimana bu?”

“Ngajar mbak di SD 69.”

“Wah bu guru tho?”

“Iya mbak, hehehe.”

“Anaknya udah berapa bu?”

“Baru 1 mbak, masih setahun. Aduuh…”

“Eh, kenapa bu? Ada yang sakit? Atau saya mijitnya terlalu kuat?” tanya mbak Wati terdengar panik.

“Oh nggak kok mbak. Maaf saya orangnya emang gampang geli, hehe. Nggak papa, pijatan mbak enak kok, udah pas, lanjutin aja.”

“Oh gitu, ya udah saya lanjutin ya bu.”

“Iya mbak.”

Aku tadi memekik karena pijatan mbak Wati sudah sampai di daerah paha atasku. Disitu dan beberapa daerah lainnya memang aku geli sekali. Saat ini pun pijatan mbak Wati membuatku terus menggeliat meskipun sudah tidak mengaduh seperti tadi lagi. Tapi karena mbak Wati sudah tahu dia terus melanjutkan saja.

Kami masih terus ngobrol sampai dia memijat punggung dan tanganku, kemudian memintaku berbalik dan mengulangi pijatannya dari kakiku. Lagi-lagi tubuhku menggelinjang saat tangannya mulai menyentuh pahaku, tapi kucoba menahan sebisa mungkin. Mbak Wati pun tampaknya tidak terlalu mempedulikan dan terus melanjutkan pijatannya, meskipun beberapa kali dia tersenyum melihat tingkahku.

“Oke bu, selanjutnya kita pake minyak ya. Bu guru silahkan kalau mau minum dulu.”

“Iya mbak,” aku agak geli dia memanggilku bu guru, tapi ya sudahlah karena memang aku seorang guru.

Aku pun bangkit dan meminum wedhang jahe yang masih tersisa tadi sampai habis. Mbak Wati bahkan menawariku apa mau lagi dan aku mengiyakan saja. Sejenak dia keluar untuk mengambilkan minuman lagi, dan tak lama dia sudah kembali lagi dan cangkirku sudah terisi penuh. Dia kemudian memintaku untuk memilih minyak mana yang mau dipakai, aku memilih salah satunya yang aromanya cukup segar dan tidak begitu tajam. Kemudian mbak Wati memintaku untuk tengkurap lagi.

Dia mulai memijat kakiku lagi dengan minyak itu. Terasa dingin saat menyentuh kulitku, dan terasa geli juga. Tapi aku tak terlalu banyak protes dan menikmatinya saja karena pijatannya memang terasa enak.

Lagi-lagi tubuhku menggelinjang saat pijatannya sampai di daerah pahaku. Ditambah dengan minyak pijat itu membuatku semakin geli, apalagi pijatannya semakin naik hampir ke pangkal pahaku. Aku sampai memeluk bantal erat-erat, dan bahkan menggigitnya karena tadi aku hampir saja mendesah.

Mbak Wati mengangkat handuk yang menutupi pantatku, dan menuangkan minyak itu disana. Lalu dia meneruskan pijatannya dengan meremas-remas pantatku. Duh, rasanya benar-benar geli sekali. Beberapa kali aku menggenlinjang bahkan mendesah tertahan. Apalagi kurasakan tangan mbak Wati masuk ke dalam celana dalam yang kupakai dan memijatnya langsung di kulit pantatku, membuatku semakin blingsatan.

Untungnya tak lama kemudian mbak Wati menyudahi pijatanya di daerah pantatku itu. Dia menurunkan lagi handuk menutup pantatku. Kini pijatannya beralih ke punggung. Tanpa menyibakkannya dulu, dia tuangkan minyak itu ke punggungku yang masih memakai tanktop. Duh, tanktop ini kan tipis sekali, dikasih minyak kayak gitu pasti jadi nerawang deh.

Kembali pijatan mbak Wati membuatku sedikit geli. Tangannya lagi-lagi masuk dari bawah tanktopku menyusuri punggungku. Aku semakin membenamkan kepalaku ke bantal karena merasakan geli saat tangan mbak Wati berada di bagian samping tubuhku, apalagi waktu memijat pinggiran payudaraku.

Tak lama kemudian mbak Wati menyudahinya, lalu memijat kedua tanganku. Setelah kedua tanganku selesai, dia menyuruhku balik badan. Kembali tubuhku ditutup dengan handuk dari dada hingga lutut. Dia memulai lagi pijatannya dari bawah. Semakin naik dan semakin membuatku geli.

Selama pijatan dengan minyak ini kami tak banyak bicara, karena aku memang lebih banyak menutup mulut menahan desahan, sedangkan mbak Wati sepertinya berkonsentrasi pada pijatannya.

“Sshh mbaakkk,” desahku tak bisa tertahan saat kedua tangan mbak Wati memijat paha dalamku, dekat sekali dengan bibir vaginaku.

Dia tidak menjawab, kulihat dia hanya tersenyum saja, tapi melanjutkan pijatanya lagi. Duh, aku benar-benar kegelian, badanku sampai bergerak-gerak gini. Selanjutnya mbak Wati menarik handuk dan meletakannya di samping tubuhku. Dia langsung saja menuangkan minyak itu di bagian depan tubuhku. Aku tak sempat memprotes karena minyak itu sudah membasahi tanktop yang kupakai, sehingga sekarang terlihat menerawang. Bahkan kedua buah dada dan puting susuku terlihat dengan jelas.

Aku pun menutupinya dengan menyilangkan kedua tanganku. Malu rasanya, sudah seperti telanjang saja. Tapi mbak Wati cuek dan melanjutkan pijatanya di perutku. Lembut sekali sebenarnya pijatannya, tapi buatku itu rasanya geli banget. Apalagi waktu tangannya menyentuh langsung kulitku, pelan-pelan naik sampai di bawah kedua buah dadaku. Aku sampai harus menahan tangannya karena kurasakan tangannya juga mau naik ke payudaraku.

Mbak Wati kemudian memijat di daerah situ. Hmm, tapi kok tenaganya udah jauh berkurang ya, kayak bukan memijat, tapi, meraba. Tangan mbak Wati berputar-putar di bawah payudaraku, membuat tubuhku semakin menggelinjang tak karuan. Tapi untungnya lagi, mbak Wati langsung menyudahinya. Aku bisa bernafas lega.

Lalu dia pindah ke atas kepalaku. Dia raih tanganku dan dibaluri dengan minyak pijat itu. Lembut dia memijat tapi aku langsung merasa geli kalau sudah sampai di bagian ketiak, apalagi tak berhenti di ketiak, pijatannya, eh bukan, rabaannya berlanjut ke daerah samping payudaraku. Aku hanya bisa mendesis saja.

Setelah kedua tanganku selesai dipijat hingga tampak berkilau karena minyak, mbak Wati masih berada di atas kepalaku, kini dia mulai memijat daerah pundah. Untuk kali ini aku bisa merasakan pijatannya kembali seperti tadi, terasa nyaman. Sampai akhirnya bagian bawah leherku dibaluri lagi dengan minyak.

Belum sempat aku berbuat apa-apa kedua tangan mbak Wati langsung masuk ke sela-sela belahan tanktopku sehingga sekarang langsung menangkup kedua susuku.

“Aaahhh mbaaakkhh,” aku tersentak, tapi hanya bisa mendesah saja saat kemudian kedua tangan itu meremas buah dadaku.

Ini adalah pertama kalinya payudaraku disentuh oleh orang lain, meskipun sama-sama cewek. Tapi rasanya benar-benar, hmm, geli banget. Apalagi sekarang tubuhku, entah kenapa terasa aneh sekali, rasanya panas dan daerah vaginaku seperti gatal minta digaruk. Apalagi dengan kedua payudaraku diremas dengan lembut oleh mbak Wati, membuatku jadi terangsang.

Ah nggak boleh. Aku nggak boleh terangsang kayak gini. Aku mencoba untuk menarik tangan mbak Wati tapi tidak berhasil. Dia malah memainkan puting susuku, memilin-milinnya. Aah, padahal ini adalah salah satu titik paling sensitif yang aku punya, dan dia sedang memainkannya.

“Mbaakkhh aahhh udaaahhhh,” aku memohonnya untuk berhenti tapi dia malah makin bersemangat.

Aku sendiri merasa vaginaku sudah semakin gatal, sampai kugesek-gesekkan kedua pahaku, tapi itu tidak cukup. Aku ingin merabanya, menyentuhnya, tapi kedua tanganku masih mencoba untuk menarik tangan mbak Susan.

Kurasakan kedua puting susuku sudah mengeras dipilin oleh mbak Wati. Nafasku semakin tak karuan, desahanku juga semakin tak tertahan. Apakah ini juga termasuk dalam paket pijatan yang kupilih tadi?

“Aaaahhhh mbaakk, aku, oouhh aahhh akhuuuu..”

“Keluarin aja bu, jangan ditahan-tahan,” begitu yang kudengar darinya, lalu beberapa saat aku mendesah panjang.

“Aaaaaaahhhhhhhh..” pantatku sampai terangkat-angkat. Astaga, aku orgasme, hanya dengan dimainkan buah dadaku saja, tanpa penetrasi sama sekali.

Tubuhku langsung melemas. Aku sampai memejamkan mataku, mengatur nafasku yang terengah-engah. Aku bahkan diam saja waktu mbak Wati menarik tanktopku sampai terlepas. Untuk beberapa saat sepertinya dia membiarkanku mengatur nafasku.

“Sshhhh aaahh mbaak, udaaahh,” aku kembali merasakan kedua payudaraku dimainkan lagi oleh mbak Wati.

Aku membuka mataku dan terkejut karena dia ternyata sudah melepas pakaiannya tadi, tinggal memakai BH dan celana dalam saja. Dia memelukku sambil tetap memainkan payudaraku, lalu tiba-tiba saja dia menciumku.

Aku gelagapan menerima serangan ini. Aku mencoba untuk meronta tapi entah kenapa tubuhku malah bereaksi sebaliknya. Apalagi sekarang kurasakan tangan mbak Wati mulai turun menyusuri perutku, kemudian masuk ke celana dalamku dan langsung menyentuh bibir vaginaku. Bukan hanya itu, tapi jarinya langsung masuk dan mengobok-obok liang vaginaku.

Oh tidak, vaginaku sudah basah. Dan jari ini, ah untuk pertama kalinya ada orang selain mas Andri yang menyentuhnya. Dan orang itu adalah sama-sama cewek. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi, tubuhku dengan cepat dikuasai oleh nafsu. Entah kenapa secepat ini, biasanya aku tidak sampai secepat ini terangsang bila bercinta dengan mas Andri.

Mbak Wati terus mengobok-obok memekku, eh bukan, vaginaku. Aduh, kenapa aku jadi ngomong jorok begini sih.

Kocokan jari mbak Wati semakin cepat, hingga vaginaku semakin lama semakin becek. Bunyi kecipak terdengar jelas di telingaku. Desahanku sudah tak karuan tapi tertahan oleh ciuman mbak Wati yang sekarang sudah memainkan lidahnya juga.

“Eehhmmmmpppp..” tubuhku mengejang beberapa kali, saat kurasakan orgasme dahsyat melandaku. Vaginaku benar-benar sudah banjir oleh permainan jari mbak Wati.

Oh tidak, kenapa aku menikmati sekali, dicumbu oleh sesama wanita seperti ini? Apakah aku punya kelainan? Tidak mungkin. Selama ini aku tak pernah tertarik pada wanita. Tapi kenapa sekarang, aku mudah sekali terangsang disentuh oleh mbak Wati.

Kulihat dia tersenyum dan bangkit. Dia mencoba melepas celana dalamku tapi kutahan. Dia menatapku, aku menggeleng.

“Udah dilepas aja, udah basah, biar nggak mengganggu.”


Akhirnya tenagaku kalah oleh tarikan mbak Wati, sehingga harus merelakan celana dalamku terlepas begitu saja.

“Bu guru haus?” tiba-tiba dia bertanya seperti itu, dan aku hanya mengangguk karena memang merasa haus.

Dia kemudian mengambil cangkir minumku tadi, membantuku untuk duduk lalu meminumkanya. Terasa cukup segar membasahi tenggorokanku, lalu aku direbahkan lagi.

“Mbak, udah ya?” pintaku memelas kepadanya. Dia tak menanggapi, malah kulihat dia melepaskan BH dan celana dalamnya.

Melihat tubuhnya yang telanjang aku risih, tapi masih sedikit berbangga karena menurutku tubuhku masih lebih bagus daripada dia. Aku lebih putih, lebih montok, payudaraku juga lebih besar, begitu juga pantatku karena kulihat pantatnya tepos.

Dia kemudian mengambil sebotol minyak, entah apa itu, lalu menuangkannya di sekujur tubuhku. Aku mencoba menggeliat tapi tubuhku masih lemas karena dua kali orgasme tadi. Setelah itu dia kembali meraba sekujur tubuhku.

“Mbaak Watii, udaaahh,” pintaku memelas.

“Belum, bu guru belum siap.”

Aku tak mengerti apa maksudnya, tapi sekarang aku kembali hanya bisa mendesah saja. Aku pasrah dengan semua yang dilakukan oleh mbak Wati, karena sekarang aku sudah mulai menikmatinya. Bahkan aku membalas ketika dia menciumku lagi.

“Dibuka lebar kakinya bu guru,” kembali aku menurutinya. Ku buka lebar-lebar kedua kakiku dan dia langsung mengocok vaginaku lagi dengan jarinya, kali ini 2 jari langsung.

“Hmmpphhh hhhppp,” aku hanya bisa mendesah tertahan karena kembali dicium olehnya.

Tubuhku sudah benar-benar dikuasai oleh nafsu, tak ingat lagi bahwa aku adalah seorang istri setia, ibu dari seorang anak lelaki yang lucu, perempuan alim yang selalu berpenampilan tertutup. Tapi kini aku sedang telanjang bulat, dengan seorang wanita lain yang juga telanjang bulat, yang tadi sudah membuatku 2 kali merasakan orgasme.

Kembali tubuhku mengejang saat permainan jarinya membawaku pada orgasme ketigaku hari itu. Tubuhku benar-benar lemas, tapi dia belum berhenti. Dia kembali merangsangku dengan meremas kedua payudaraku bergantian, sambil tetap mencium bibirku, yang kubalas tak kalah ganasnya.

Kemudian kurasakan kedua tangannya membuka kakiku. Eh tunggu dulu, tangan mbak Wati kan sedang meremas payudaraku, dan yang satunya memegang kepalaku. Lalu tangan siapa yang memegang kakiku itu? Perasaanku mendadak tak enak. Aku ingin melepaskan ciumanku untuk melihat siapa yang ada di ruangan ini lagi, tapi mbak Wati menahannya. Bahkan kini kedua tangannya memegang kepalaku agar ciumannya tak terlepas.

Saat itu kurasakan bibir vaginaku seperti disentuh oleh sesuatu yang keras. Bukan, bukan hanya disentuh, tapi benda itu perlahan masuk membelah bibir vaginaku. Aku mencoba meronta sebisanya, tapi tertahan oleh mbak Wati, dan seorang lagi di bawah sana.

Benda itu terus masuk, hingga akhirnya badanku menegang saat benda itu menyentuh dinding rahimku. Oh tidak, ini, penis. Tapi penis siapa? Dan, kenapa besar dan panjang sekali. Vaginaku terasa sakit, meskipun sudah basah karena 3 kali orgasme tadi.

Aku terperanjat saat mbak Wati melepaskan ciumannya di bibirku, sehingga aku bisa melihat orang di bawah sana. Ternyata dia adalah petugas security yang tadi berjaga di pintu depan. Dan orang itu sudah melepas semua pakaiannya, dia sudah telanjang bulat, dan penisnya berada di dalam vaginaku.

“Le,, lepasiiin. Apa apaan ini??”

“Hehe udah bu guru, nikmatin aja kontolnya pak Wawan, enak banget kok.”

“Nggak, lepasin. Cabut pak, cabut. Vaginaku, sakiiiit.”

Tapi lelaki itu bukannya menuruti perkataanku, malah menggoyangkan penisnya maju mundur. Rasanya benar-benar sakit meskipun vaginaku sudah benar-benar basah. Air mataku langsung turun tak tertahankan. Aku sedang disetubuhi oleh pria yang sama sekali tidak ku kenal, yang baru saja kulihat beberapa saat yang lalu.



Aku mencoba meronta tapi kedua tanganku dipegang dengan erat oleh mbak Wati. Sementara lelaki yang katanya namanya pak Wawan itu tampak sedang menikmati sekali sempitnya lubang vaginaku. Dia meracau tak jelas, entah apa yang dikatakannya.

Aku teringat anak dan suamiku. Kalau dipikir lagi, ini adalah pertama kalinya sejak menikah aku keluar sendirian tanpa pamit kepada suamiku, dan ternyata aku malah mengalami hal seperti ini. Huks, maafkan aku mas Andri.

Aku yang sedang terpejam merasakan ada sesuatu yang menempel di wajahku. Betapa terkejutnya aku ketika membuka mata, mbak Wati sedang mengangkangiku, vaginanya persis berada di depan wajahku.

“Jilati dong bu guru,” aku tersentak mendengar permintaannya.

Tak pernah seumur-umur aku menjilati vagina wanita lain. Bahkan dengan suamiku saja, aku jarang sekali melakukan oral, dan kini malah wanita ini dengan seenaknya menyuruhku menjilat vaginanya? Aku pun menggeleng. Tapi dia malah menggesek-gesekkan vaginanya di wajahku, membuatku terpejam jijik.

Melihat aku tak memenuhi permintaannya, dia mengentikan perbuatannya. Aku penasaran apa yang akan diperbuatnya lagi dan membuka mataku.

“Pak Wawan,” dia menengok ke belakang dan memanggil pak Wawan yang sedang menggenjotku, seperti sedang memberikan sebuah kode kepadanya.

“Aaaaaarrrggghhhh ampuuuunnn..” aku menjerit karena tiba-tiba penis pak Wawan yang besar itu menyodok vaginaku dengan brutal.

Bukan hanya itu, dia bahkan membetot kedua puting susuku dengan sangat keras. Sakit sekali rasanya.

“Keluarin lidah bu guru kalau nggak pengen lebih disakiti lagi.”

Aku yang takut mau tak mau menjulurkan lidahku, dan disambut dengan bibir vaginanya. Aku semakin menangis menyadari kondisiku sekarang. Vaginaku sedang diperkosa oleh pria yang sama sekali tak ku kenal, dan aku dipaksa untuk mengoral vagina wanita lain. Betapa menyedihkanya seorang istri yang alim dan setia dipaksa melakukan ini, tapi itulah yang terjadi.

Entah berapa lama aku diperlakukan seperti itu, hingga kurasakan sodokan penis pak Wawan kian kencang, dan goyangan pantat mbak Wati di wajahku juga semakin cepat. Aku tahu mereka akan orgasme. Masalahnya, aku juga merasakan yang sama.

Tak bisa kupungkiri, penis pak Wawan yang besar itu, yang tadinya membuatku kesakitan, justru sekarang terasa sangat nikmat, beda dengan penis mas Andri yang ukurannya lebih kecil dan pendek.

“Aaahh bu guruuu, aku keluaarrr, aku pejuiin memekmuuu aaaahhhh..”

Setelah dari tadi meracau tak jelas, akhirnya itulah yang kudengar dari mulut pak Wawan. Aku tak ingin lelaki itu orgasme di dalam vaginaku, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.

“Aaaahh keluaaaaarrrr…”

Crot crot crot..

Entah berapa kali semburan sperma panas pak Wawan memenuhi rahimku, membuat tubuhku juga ikut mengejang karena merasakan orgasme yang sangat dahsyat, lebih nikmat dari yang kurasakan selama ini. Benar-benar luar biasa.

Disaat yang bersamaan, vagina mbak Wati juga memuncratkan cairan orgasmenya, banyak sekali sampai masuk ke dalam mulutku. Aku gelagapan dan ada yang tertelan juga tadi.

Mereka berdua kemudian melepaskanku. Tangisku langsung pecah. Aku bersingut memeluk tubuhku sendiri. Tapi kedua orang itu tampak cuek. Kurasakan ada cairan yang merembes keluar dari vaginaku, itu pasti sperma pak Wawan.

Saat aku masih menangis tiba-tiba tubuhku ditarik oleh pak Wawan hingga terletang, lalu dia memaksa memasukan penisnya ke dalam mulutku. Aku yang sudah tak berdaya tak mampu lagi melawan, membiarkan penis besar itu keluar masuk seenaknya di dalam mulutku. Sementara di bawah kurasakan mbak Wati menjilati vaginaku.

Aku bergidik, apa dia tidak jijik dengan sperma pak Wawan yang masih ada di vaginaku? Eh tapi tunggu dulu, bukankah penis ini juga masih ada spermanya? Belum dibersihkan kan tadi? Mendadak aku mual tadi pak Wawan terus memompa penisnya di mulutku, bahkan sampai menyentuh tenggorokanku, membuatku beberapa kali tersedak.

Puncaknya saat dia membenamkan penisnya dalam-dalam, lalu kurasakan spermanya muncrat masuk ke dalam tenggorokanku. Karena kesulitan bernafas mau tak mau kutelan habis sperma itu.

Aku tercekat, pertama kalinya aku menelan sperma. Kembali aku menangis sejadi-jadinya, karena telah memberikan apa yang tak pernah kuberikan kepada suamiku sebelumnya. Kedua orang ini telah benar-benar menghancurkan kehormatanku sebagai seorang wanita.

“Wati, bersihin tubuhnya, aku masih mau pake lagi,” perintah pak Wawan kepada mbak Wati.

“Siap bos.”

Mbak Wati kemudian memapahku ke bathtub. Dia lalu menyiramiku dengan air dingin, membuatku menggigil. Setelah itu dia keringkan tubuhku dengan handuk. Di matras tempatku di perkosa tadi, ternyata alasnya sudah diganti oleh pak Wawan. Aku dibiarkan saja duduk disitu sambil terus menangis.

Belum sempat pak Wawan ataupun mbak Wati melakukan apapun kepadaku, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Mbak Wati mengambilkannya, dan begitu kulihat ternyata suamiku menelpon.

“Ha,, halo, assalamualaikum pa.”

“Waalaikumsalam ma. Mama lagi gimana?”

“Hmm, ini lagi keluar ke tempat temen, kenapa pa?”

“Oh nggak, cuma mau kasih tahu aja nanti papa pulangnya telat, biasa lembur akhir bulan. Jadi mama nanti nggak usah nungguin, tidur duluan aja nggak papa.”

“Emang papa pulangnya jam berapa?”

“Yaah nggak tahu ma, serampungnya aja. Mungkin bisa sampai jam 12 malam.”

“Hah, jam 12?”

“Iya ma. Ya udah ya, papa masih banyak kerjaan ini. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku meletakkan handphoneku. Pak Wawan dan mbak Wati kulihat tersenyum-senyum saja.

“Kenapa? Suamimu pulang malam?”

Aku hanya mengangguk saja.

“Wah, berarti kita punya banyak waktu dong. Aku masih belum puas ngerasain memek kamu.”

“Pak, udah pak saya mohon. Saya mau pulang, anak saya nunggu di rumah.”

“Nggak bisa, hari ini tugas kamu cuma 1, ngelayanin aku sampai aku puas. Kalau kamu nggak bisa bikin aku puas, kamu nggak boleh pulang.”

Aku pun menangis pasrah. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti apa perintah pria itu. Tak lama kemudian mbak Wati keluar dari ruangan ini setelah memakai lagi pakaian kerjanya. Meninggalkan aku berdua dengan pak Wawan.

Hari itu aku benar-benar dihabisi oleh pak Wawan. Seharian penuh tubuhku dipaksa melayaninya. Berbagai macam posisi seks yang tak pernah kulakukan dengan suamiku kami lakukan hari itu. Aku benar-benar sampai lemas dibuatnya. Entah berapa kali dia menyirami rahimku dengan spermanya, yang saja kental dan seolah tak ada habisnya. Entah berapa kali juga aku dipaksa untuk meminum cairannya itu.

Pak Wawan bahkan memintaku untuk memakai semua pakainku, lengkap dengan jilbabku. Kemudian dia kembali memperkosaku. Katanya aku jauh lebih menggairahkan dengan jilbab di kepalaku seperti ini. Sementara aku kian merasa berdosa, seorang wanita alim berjilbab, seorang istri setia, tapi sedang naik turun di atas tubuh pria lain, dengan kontolnya berada di dalam memekku.

Saat sama-sama istirahat, barulah aku tahu kalau pak Wawan ini sebenarnya adalah pemilik panti pijat ini. Dia sudah berkali-kali menjerat wanita seperti diriku meskipun belum sebulan buka. Wanita-wanita yang menurutnya cantik dan sesuai seleranya, akan bernasib sama seperti aku, tak peduli itu masih perawan, ataupun sudah menikah sepertiku. Tak peduli itu wanita berpenampilan seksi ataupun yang berjilbab sepertiku.

Bahkan aku juga tahu kalau Susan menyuruhku kesini itu atas perintah pak Wawan. Dia telah merekam semua apa yang terjadi di kamar ini, termasuk ketika memerawani Susan 2 minggu yang lalu. Dengan berbekal rekaman itu dia mengancam para wanita yang sudah berhasil dia perkosa untuk menjadi budak seksnya. Tapi pak Wawan memberikan sebuah pilihan sulit kepada para wanita itu, termasuk aku sekarang.

Dia akan berhenti membuat kami menjadi budah seks, asalkan kami mau mencarikannya korban baru. Dia yang menentukan siapa korbannya, itu dilihat dari foto-foto di handphone, juga dari sosial media kami. Kalau kami bersedia, maka dia akan melepaskan kami, tapi kalau tidak, maka kami akan terus menjadi budak seksnya.

Menurut cerita pak Wawan, sebagian dari yang sudah berhasil dia perkosa memilih untuk mencarikan korban baru, sisanya memilih untuk tetap bertahan karena merasa lebih terpuaskan dengan pak Wawan ketimbang oleh pasangan mereka masing-masing.

Sekarang aku berada di persimpangan. Pak Wawan baru saja memilih seseorang dari handphoneku untuk menjadi penggantiku. Jika aku berhasil membuatnya terjebak disini, pak Wawan akan melepaskanku.

Masalahnya, orang yang dipilih pak Wawan itu adalah adik iparku sendiri, dan dia belum menikah. Aku jadi tak tega untuk mengorbankanya juga. Aku tak ingin keperawanannya hilang oleh lelaki busuk ini. Tapi kalau aku tidak menurutinya, aku akan terus menjadi budak seks pak Wawan.

Aku sangat bingung. Aku benar-benar tak ingin mengorbankan adik iparku. Aku sudah mencoba memberinya pilihan lain tapi dia tak mau. Apakah aku harus mengorbankan adik iparku? Atau tetap bertahan menjadi budak seks pak Wawan? Masalahnya, aku sudah mulai menikmati perkosaan atas diriku, yang nikmatnya jauh melebihi dari apa yang bisa diberikan oleh suamiku.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Ngentot Gadis Penjaga Toko Berjilbab

MENYUSUI DAN NGESEKS BERSAMA PELANGGAN KU YANG MASIH ABG

CERITA MESUM OM DINO NGESEK DENGAN BUNDA DUA ANAK YANG SEXY